Wednesday 29 September 2010

tak ada otak dan nurani, pakai dengkul lah!


gelisah..

gelisah aku, aku gelisah.

mereka yang dulu tumpah darah dan nyawa nya untuk negeri yang bernama indonesia ini barangkali lebih gelisah.




anak negeri saling bertarung, melebihi pertarungan mereka yang dulu berjuang untuk merdeka.

anak negeri ini bersimbah darah,melebihi darah yang dicucurkan mereka yang dulu berjuang untuk bisa didengar dunia.



apa yang ada dibenak mereka yang berpikir dengan emosi. nyawa manusia seolah tak ada harga.

kepuasan apa yang di dapat dengan saling menumpas nyawa saudara negeri sendiri.

mereka diluar sana tertawa puas melihat kita. perlahan hancur, mereka tak perlu mengotori tangan dengan darah darah anak negeri, karena kita sendiri menjadi alat mereka.



terlalu basi jika berbicara indahnya perdamaian. terlalu basi berbicara tentramnya hidup berdampingan.

terlalu banyak teori untuk damai dan berdampingan ya?

manusia, dengar hati kecil,jernihkan otak, pakai otak kalian!!!, jika tak punya nurani.

pakai mata kalian jika tak punya nurani dan otak. lihat darah yang ditumpahkan, lihat nyawa yang dikorban? bisa mengembalikan yang sudah mati?? bisa memuaskan dendam mereka yang sudah lebih dulu mati?



tak selamanya kehilangan harus diimpaskan dengan kehilangan, tidak selamanya mata di bayar mata, nyawa di balas nyawa.

tak ada otak? pakai dengkul lah!!!



mereka yang berkepentingan, tertawa lebar melihat kita yang bodoh yang bersimpah darah.

mereka yang membayar, tertawa puas, tak sia sia , mengeluarkan uang.

pakai dengkul kalau tak punya otak dan nurani,



ampunn..

Tuesday 28 September 2010

Tidur selamanya,untuk bisa bersama denganmu


Menatap ombak yang saling berkejaran di kakiku. Setiap jejak langkah hilang di sapu ombak. Aku berjalan di sepanjang sisi pantai. Angin pantai yang segar dan mentari pagi menemani langkahku untuk bertemu dengan nya. Ia terlihat begitu sempurna di balik balutan kemeja tipis putihnya.

Tersenyum menatapku dengan tangan terkembang, seolah tak sabar merengkuhku ke dalam pelukannya.
Tapi perjalanan dari ujung pantai ini terasa begitu berat. Tak segampang itu juga aku menyerah, karena aku tau apa yang menantiku di sana. Dia yang aku cinta dengan segenap jiwa.
Perjalanan panjang itu berakhir sudah, selangkah lagi tanganku menggenggamnya. Kami akan menari bersama di bawah mentari, diantara deburan ombak , di atas hamparan pasir putih. Tak ada waktu yang terlewati dengan kesendirian.
Setiap detik terisi dengan cinta. Karena aku tahu hanya dia yang ingin kulihat saat mata ini terbuka di awal hari dan dia yang akan menemani saat mata ini tertutup di penghujung hari.
Tangan ini hanya ingin menyentuh setiap sudut wajahnya. Setiap lekuk di tubuhnya, setiap guratan di yang ada padanya.
Bibir ini hanya ingin mengecup dirinya, dan menyebut namanya. Tanpa henti, tanpa batas waktu dan ruang.
Tapi apa yang terjadi? Aku terjaga, ternyata tak mudah menemui nya di dunia nyata. Aku rela harus tidur selamanya, jika itu satu satunya cara agar aku bisa bersama denganmu.



Hidup, Rasa, Hati, Cinta, Mati dan Kembali.


Satu persatu mereka berlabuh, sementara aku belum juga memiliki sauh. Kemana kapal ini akan sandarkan. Badai di hamparan laut luas ini semakin keras dan kejam. Tapi aku masih mencoba bertahan. Walau tidak prima, tapi aku masih bisa bertahan.




Jangan sia siakan kesempatan yang pernah datang, aku membiarkan mu menunggu terlalu lama, hingga kau lelah. Dan sekarang di saat aku menyadari, cinta itu telah pergi dan merangkul bahagia lain. Turut berbahagia untuk kebahagiaan mu.
Membiarkan yang sejati hanya untuk bermain main dengan kesenan gan, bukanlah harga yang pantas. Akhirnya aku harus berlayar jauh entah kemana, entah dimana, entah kapan akan berlabuh. Tak ada sauh yang tersisa, tak ada tempat tersedia.
Bertahan dengan segenap kuasa yang ada, menentang matahari, melawan arah angin, menentang perputaran waktu. Entah lah, hidup dan mati apakah hanya akan berlalu di lautan luas. Menjadi umpan hiu, membakar diri di bawah matahari.
Akhirnya aku berdiri di haluan kapal, menerjang angin yang membelai wajahku, menghirup asinnya udara laut, membentang tangan membelah bayu dan matahari. Menyaksikan dari hari kehari matahari mendaki dan kembali sembunyi di balik garis laut. Dengan kapalku, hingga akhirnya hanya bisa terombang ambing, di tengah samudera. Hingga waktu mengikis, hingga asa satu persatu terbang, hingga nafas berhenti, hingga kembali ke dasar laut.
Karena akulah si pengelana, hidup, rasa, hati, cinta, mati dan kembali.


Wednesday 22 September 2010

ini tanpa akhir

Kapan terakhir kali anda menciumnya pake hati? Kapan terakhir kali berseri rasanya bangun di pagi hari. Kapan terakhir kali terasa begitu tanpa beban saat bersama.


Kapan terakhir kali bisa bercerita tanpa batas. Kapan terakhir kali bisa menangis dibahunya dan merasa tenang. Kapan terakhir kali memeluknya tanpa ada rasa takut kehilangan, karena yakin ia tak berpaling. Kapan terakhir kali merasa dunia takkan runtuh tanpa gravitasi. Kapan terakhir kali meluapkan emosi tanpa takut di tinggal dia. Kapan terakhir kali kau menciumnya dan tak ingin segera berakhir. Kapan terakhir kali kau bilang cinta dia. Kapan terakhir kali kau tak akan melihatnya lagi. Kapan terakhir kali kau sadar dia sudah tak disisi.
Aku terakhir kali masih mencintainya, dan ini tanpa akhir.



Wednesday 15 September 2010

cinta oh



Aku coba bangkit, aku mencintai nya tanpa dia tahu.
Aku menyayanginya tanpa dia tahu.
Ini cinta tulus, tanpa dia tahu.
Aku ingin merasakan cinta lagi, setelah beku.
Tapi ia tak tahu.



Aku hanya akan menyimpan rasa ini dan menikmati sendiri.
Besar cintaku, tak hak harus memilikinya.
Aku akan mencintainya, sampai dia tahu.
Sampai aku tahu, bahwa tak ada cinta nya untukku.
Sampai aku tahu bahwa ia tidak mencintaiku.
Sampai aku tahu aku harus beku lagi. Lagi?

Sunday 12 September 2010

Joni , sepuluh juta dan mati


Saya kembali terjaga dan menatap dari balik dunia cermin, tertampar, ada tulisan ini:

"Sebagai rasa simpati memberikan sumbangan sebesar Rp 10 juta rupiah," kata Kepala Biro Pers dan Media Istana Kepresidenan, DJ Nachrowi saat dihubungi detikcom, Jumat (10/9/2010). Dia menjelaskan, bahwa Joni meninggal bukan saat berada di dalam Kompleks Istana Kepresidenan. Tetapi saat tengah berada di depan kantor Setneg.”



Helooow mau di Kompleks Istana Kepresiden kek, mau di depan Kantor setneg kek!!! Joni malela mati!!! Sudahkan ini terdengar sedikit lebih keji? Mati. Sudahkah saya terkesan sedikit lebih keji dari pada mereka yang membiarkan orang cacat antre dengan ribuan orang lainnya untuk bersalaman di SBY?.
Bapak, Ibu, rakyatku Indonesia, kita akan di tertawakan orang lain, mati hanya sia sia. Tapi saya sejenak mencoba menempatkan diri sebagai warga yang antre dibalik pagar istana itu. Saya punya sejuta harapan di benak, jika bertemu presiden. Pak bantu kami si miskin, pak beri uang kami si miskin, pak biaya pendidikan jangan mahal mahal, pak harga beras dan minyak mencekik, pak kami tak mampu beli daging, pak makan ayam goreng adalah hidangan mewah yang setahun sekalipun belum tentu kami rasa.
Pak, ada berjuta tuntutan dari rakyat yang mendudukan anda, di dalam istana, dari mereka yang terpesona penampilan dan buai janji anda saat kampanye. Sudahkah sedikit anda tepati, sudahkah sedikit anda sejahterakan mereka. Joni tak akan buang nyawa nya sia sia, kalau saja orang cacat terperhatikan. Joni dan ribuan warga tak akan antre, kalau saja saat lebaran itu perut mereka terisi dan menikmati sepotong daging atau segenggam yang bukan nasi aking.
Rakyat anda miskin pak. Dan itu tidak sediki, harapan membuncah saat anda mengadakan open house yang hanya merupakan tradisi tahunan. Open house, yang setelahnya anda hanya merasa lelah, cuci tangan, istirahat tanpa membayangkan dengan apa rakyat itu akan pulang, apakah dirumah mereka masih ada makanan untuk satu dua hari mendatang.
Oya, tapi kami masih berterimakasih, ada sepuluh juta penyantun nyawa joni. Sepuluh juta, yang istri joni pun tak berani memegangnya sehingga dititipkan pada polisi.


"Uang santunan sudah dipegang ibu. Tapi karena takut tidak biasa pegang uang banyak jadinya dititipkan sama polisi," terang saksi mata dan orang yang menolong Joni di Istana Negara, Waiman saat ditemui di RSCM, Jakarta Pusat, Jumat (10/9/2010).”


Pak, bu , sudah ya, menjaga hubungan baik dengan sesama manusia, bersilaturahmi memang di ajarkan dalam agama, tapi tidak untuk mati sia sia dengan sepuluh juta, demi bertemu dengan orang yang belum tentu mengundang secara terbuka. Ini formalitas, ini tradisi lebaran, open house. Tak akan mendengarkan keluhan, dari tahun ketahun terjadi. Banyak mungkin yang didengar dari rakyat, tapi adakah yang berubah?
“Terkait dengan meninggalnya Pak Joni, Bapak Presiden sudah mendengar kabar tersebut. Bapak Presiden menyampaikan ucapan turut berduka kepada keluarga korban yang sedalam-dalamnya," kata Juru Bicara Presiden SBY, Julian Aldrin Pasha kepada detikcom, Jumat (10/9/2010). SBY sangat menghargai dan mengapresiasi keinginan dari almarhum Joni untuk bersilaturahmi. Meskipun, SBY tidak pernah mengundang secara langsung.


Tapi paling tidak Joni Malela lepas dari derita hidup yang ia jalani,tak perlu lagi antre tahun depan demi mengeluhkan beratnya hidup di negeri ini bagi si miskin, pak Joni. Istirahlah dalam damai. Terimakasih pak'e. Terimakasih juga untuk yang telah menggelar acara open house.