Wednesday, 24 November 2010

Semalam di pagai selatan , part two. Perjalanan 9 kilometer, 5 jam dan sungai...


...Diskusi dilakukan ditengah laut,kepala rombongan SAR ESDM, Pak Eric akhirnya memutuskan agar seluruh boat merapat ke daratan terdekat. Karena ombak di depan kami terlalu berbahaya. Informasi dari GPS menunjukkan ketinggian ombak 7 meter....





Empat rombongan long boat( sampan kayu dengan diameter kurang dari satu meter, diberi mesin 15 pk) akhirnya berkumpul di pinggir pulau siopa kecil. Setelah di diskusikan, diputuskan, perjalanan dengan jalur darat. Saat itu kami sudah berada di perairan pagai selatan.
Bagian yang mendebarkan bagi saya adalah, saat akan menuju daratan terdekat. Pengalaman pertama seumur hidup saya berhadapan dengan ombak mentawai, yang kata orang di cari para peselancar. Tapi saat itu saya sama sekali tidak tertarik berselancar. Kenapa???? Pertama, saya tidak mahir berenang, kedua, siapa yang mau berselancar di ombak setinggi 7 meterr???
Yang bisa saya lakukan saat itu hanya berdoa dalam hati (dalam kondisi genting,manusia sangat mudah mengingat Tuhannya dan meminta ampun..doh), itulah yang saya lakukan sambil berpegangan pada sisi kiri dan kanan saya, long boat, yang diameternya tak lebih dari satu meter, sambil sesekali menimba air yang masuk ke sampan kami (perintah operator boat, harus terus menimba air keluar dari sampan, kalo tidak sampan kami bisa tenggelam).
Gambarannya seperti ini, saat kami menyisir ( meminjam istilah operator long boat) ombak, long boat bisa berada di puncak ombak, dan kami bisa melihat pulau pulau dari atas gulungan ombak. Tapi saat long boat berada di palung ombak, yang ada di hadapan kami, bagaikan dinding yang terbuat dari ombak. Saya menyaksikan langsung dengan nafas tertahan. Tiba tiba ingat, saya menggunakan pelampung yang tidak standar. ( Lesson no.1, Gunakan pelampung standar, saat berhadapan dengan air!!!)
Sungguh menegangkan, terlalu tegang, sampai sampai saya tidak bisa merasakan mual atau mabuk laut. Jujur, sedikit banyak saya menikmati perjalanan di ombang ambing ombak mentawai, meskipun takut, ada rasa seru. Tapi, ada fakta yang harus di acungi jempol. Nelayan mentawai, luar biasa kemampuan manuver di tengah samudera, menghadapi ombak mentawai!! Salute!!! Mereka dengan lincah membuat sampan kami berselancar di atas ombak .
Nah, ini yang harus di informasikan dengan benar, sampan kami tidak terbalik....Setelah melewati bagian yang menegangkan, akhirnya kami tiba di daratan terdekat. Malakopak, salah satu wilayah yang juga terkena tsunami. Di wilayah ini cukup banyak yang selamat, karena rata rata masyarakat bermukim jauh dari pantai, meskipun ada beberapa yang tinggal di tepi pantai.
Tempat kami merapat, adalah daratan yang tergerus gelombang tsunami, membentuk dermaga pasir, sehingga long boat kami bisa merapat.
Saat menginjakkan kaki di malakopak, bau bangkai masih tercium. Matahari sudah menunjukkan sengatnya. Bersinar terik. Kalau tidak salah, waktu menunjukkan pukul setengah sebelas siang, saat kami mulai berjalan. Kehancuran masif akibat tsunami bisa dilihat di sepanjang pantai. Kami berjalan diantara patahan pohon dan daratan yang tergerus membentuk kali kecil serta bongkahan batu yang hancur.
Perjalanan darat bukan tanpa alasan. Kepala tim rombongan mengatakan, untuk meminimalisir kecelakaan dengan boat, maka seluruh penumpang lebih baik jalan kaki, sedangkan logistik dan obat obatan di bawa menggunakan boat ke arah selatan (pororogat). Rencana awalnya, kami akan kembali naik long boat, dengan asumsi, long boat kami berhasil melewati badai. Tapi yang terjadi, kami tidak pernah bertemu dengan long boat . Karena ternyata, long boat itu kembali ke dermaga awal tempat kami berangkat, lantaran tidak berani bertarung dengan alam, ombak setinggi 7 meter dan badai.
Selain teriknya matahari, hal lain yang saya nikmati adalah pantai pagai selatan yang luar biasa indah di antara puing puing kehancuran akibat tsunami. Kaki kami melangkah di atas pasir putih dan terumbu karang yang mungkin terbawa ombak. Meskipun bau bangkai sesekali masih tercium.
Selama perjalanan, tim sar juga terus melakukan penyisiran mencari korban korban yang mungkin masih ada di sekitar pantai. Menurut warga asli mentawai, badai dan gelombang tinggi tidak akan berhenti, jika masih ada mayat yang berada di lautan. Yah , begitulah mitos mereka, karena laut tidak mau menerima jenazah manusia.
Kembali ke bibir pantai, tidak hanya pasir putih yang indah, tapi kami juga harus melewati patahan pohon besar dan pohon bakau. Saya dan cecep yang menggunakan celana pendek, terpaksa menikmati goresan goresan pohon di kaki kami. ( Lesson no.2, gunakan celana panjang dan jaket, apapun kondisi bencana nya :p)
Lagi lagi saya menikmati perjalanan kaki kami, meskipun kulit mulai terbakar. Kami berjalan di sepanjang bibir pantai yang berhadapan langsung dengan samudra hindia. Cuaca ekstrim, benar benar kami alami. Dua jam pertama perjalanan, matahari sangat terik. Beberapa lama kemudian, badai menemani perjalanan kami yang kemudian dilanjutkan dengan hujan deras. Baju selembar, kering dan basah dibadan. Cecep mahmud, rekan saya terus berusaha mengabadikan gambar menggunakan kamera yang LCD monitornya sudah rusak sebagian.
Selama berjalan kaki menyusuri pantai ke arah selatan, ada satu bagian yang paling berat untuk saya. Menyebrangi sebuah sungai yang bermuara ke lautan lepas. Sungai selebar kurang lebih dua puluh meter, sedalam dua meter. Kenapa berat??? Karena saya tidak mahir berenang. Bisa berenang sedikit di kolam renang, tapi tidak bisa mengapung, tidak bisa ngambang. (Lesson no.3, wartawan wajib bisa berenang dan mengapung di air).
Padahal ,kami semua mengenakan pelampung. Tapi rasa takut kali ini mengalahkan saya. Setelah sempat terjun kesungai, akhirnya saya memutuskan untuk kembali kepinggir, ketakukan karena kaki saya tidak menyentuh dasar sungai. Akhirnya saya mengumpulkan keberanian untuk terjun lagi kesungai, dan dibantu teman teman tim sar, saya berhasil menyebrangi sungai.
Sementara, kameramen saya Cecep Mahmud, berhasil berenang dengan satu tangan, sambil terus memegangi kamera agar tidak basah. Sungai terlewati, jalan kaki dilanjutkan kembali.









Saturday, 6 November 2010

semalam di pagai selatan part 1



Senin 1 November 2010
Pagi itu senin 1 november 2010, cuaca cerah di kecamatan sikakap, pagai utara. Berbeda dari 4 hari sebelumnya,yang setiap hari di guyur hujan.


Senin pagi matahari tak malu malu menunjukkan cahayanya yang terik. Saya dan cameramen Cecep Mahmud, berangkat ke dermaga lestari, yang berada di kec sikakap, pagai utara. Dermaga yang sama saat sebelumnya, hari jumat 29 oktober 2010, kami berangkat menyusur pantai barat pagai utara menuju montei baru baru. Salah satu lokasi terparah kena gelombang tsunami dengan korban jiwa terbanyak.

Waktu menunjukkan pukul 7 lebih 30 menit saat saya dan cecep tiba di dermaga lestari. Ternyata tidak hanya kami saja yang ingin berangkat ke pagi itu. Ada beberapa rombongan yang sudah siap juga untuk berangkat ke tempat yang sama, yaitu desa pororogat di pagai selatan. Wilayah ini juga hancur diterjang gelombang tsunami, tapi korban jiwanya tidak sebanyak di montei baru baru.

Setelah menunggu satu jam lebih, akhirnya kami mendapatkan long boat ( perahu nelayan yang di beri mesin 15pk) untuk berangkat ke pororogat. Kami ikut dalam rombongan Tim SAR ESDM. Gabungan Tim SAR dari beberapa perusahaan tambang. Tepat pukul 9 pagi, 4 long boat berangkat ke pororogat, Pagai Selatan. Matahari masih bersinar terik, perjalanan dimulai. Langit cerah, dan lautan terlihat indah. Satu jam kami masih melewati selat sikakap. Setelah satu setengah jam, tiba tiba boat yang kami tumpangi memperlambat kecepatan. Kemudian akhirnya berhenti di dekat pulau siopa kecil. Kami bertemu dengan beberapa boat lain yang juga bertujuan ke pororogat.

Diskusi dilakukan ditengah laut,kepala rombongan SAR ESDM, Pak Eric akhirnya memutuskan agar seluruh boat merapat ke daratan terdekat. Karena ombak di depan kami terlalu berbahaya. Informasi dari GPS menunjukkan ketinggian ombak 7 meter.

bersambung..