Sunday, 19 December 2010

titik nol hati

coba tengok sebentar saja ke hati ku.
apa yang kau lihat?
lalu wajahku.
apa yang terlihat?
didalam ini dulu ada berjuta makna dan rasa.
sekarang apa yang kau lihat?





gentar melangkah lagi, arghh apa yang ada dikepala dan hati ku mungkinkah tidak sejalan?
tak sama?

ribuan jam menanti yang tepat untuk bersandar, atau sekedar bercerita sedih dan bahagia. nyaris rupa rasanya seperti apa. sedikit menakutkan, seolah dihadapkan dengan kengerian kembali.
kengerian atas rasa sakit yang sama. kengerian akan akhir kisah yang sama.
tapi rasa membutuhkan ini lebih besar? lantas?
kali ini aku dengarkan mau hati ini, kita dengarkan saja.


Wednesday, 15 December 2010

love



the thing called love...
i was sitting alone, since you  were gone.
this feeling i have, is a doubt.
no love left.
you took it all.
dont even leave a piece for me.
now i am a walking one, without love, nor heart.
then he came.
am i a live?
not yet.
memories came by.
the way he touch, remain me to you.
the way he act, talk, the way he look.
but it is not you... at all.
Am i still into you?
none.
no
or no one know?
or do i know?
this feeling come again.
still, im trying hard to open up my heart.
fear!
that's what i feel.
fear of loving, fear of loosing, fear if he is not real for me.
fear that i will love him, then it hurts me. like was.
fear that my broken heart will be broken in to dust. since it already into pieces.

thing called love

the thing called love...
i was sitting alone, since you were gone.
this feeling i have, is a doubt.
no love left.
you took it all.
dont even leave a piece for me.
now i am a walking one, without love, nor heart.
then he came.
am i a live?
not yet.
memories came by.
the way he touch, remain me to you.
the way he act, talk, the way he look.
but it is not you... at all.
Am i still into you?
none.
no
or no one know?
or do i know?

this feeling come again.
still, im trying hard to open up my heart.
fear!
that's what i feel.
fear of loving, fear of loosing, fear if he is not real for me.
fear that i will love him, then it hurts me. like was.
fear that my broken heart will be broken in to dust. since it already into pieces.

Monday, 13 December 2010

semalam di pagai selatan part 4 nyamuk mentawai, hypothermia dan bivac

…Dan…akhirnya saya mencipipi cumi bakar mentawai, wow,,,mengejutkan, enak lho rasanya…hahaha. Apa karena saya laper…? (Anyway..thanks cuminya, ga amis,mungkin resto2 sea food bisa mencontoh cara masak seperti ini, biar ga amis hihi…)…..



Makan malam selesai, badan mulai gatal. Semakin malam, angin semakin kencang dan dingin. Baju dibadan tak kunjung kering. Pelampung tetap saya kenakan, perintah dari kepala rombongan, seandainya dalam keadaan tertidur (kayak yang bisa tidur aja hehe), air laut pasang, maka kita tetap aman dengan pelampung terpasang.
Positif, kami tidak akan di evakuasi malam ini. Dari kejauhan saya bisa melihat langit gelap, awan hitam menggantung. Badai sepertinya akan segera datang. Pak Erick akhirnya juga sudah menghubungi atasannya di Posko Sikakap, Pak Iskandar Siregar. (saya juga masih punya cerita, bagaimana kami akhirnya bisa ikut ke Pororougat).
Saat kami tengah menghangatkan badan didekat api unggun, tiba tiba terlihat lampu kerlap kerlip, dari arah utara tempat kami bermalam. Sepertinya lampu kapal, beberapa anggota SAR bergegas member sinyal balasan menggunakan lampu helm mereka sambil berlari mendekati arah pantai. Tapi sayang, sepertinya kapal tersebut tidak melihat sinyal dari kami. Setelah beberapa menit, lampu ditengah laut itu tidak terlihat lagi. Pupus sudah harapan.
Tapi informasi yang saya dapatkan setelah kembali ke Sikakap, ternyata dihari itu juga, Pemred ANTV, Uni Lubis sudah mengusahakan helicopter PMI untuk mengevakuasi kami ke esokkan hari. Sebelumnya malam tersebut, informasi yang saya peroleh dari Pak Erick, KRI Cirebon rencananya juga akan mengevakuasi kami malam itu, tapi cuaca tidak memungkinkan untuk berlayar. Kesalahan saya, karena buru buru berangkat, tidak mencari informasi cuaca tanggal 1 November tersebut. Ternyata memang ada informasi badai yang akan terjadi diperairan Mentawai hingga 4 November 2010.
Jadilah malam itu kami menetap dipulau tanpa tenda, menunggu besok pagi untuk di evakuasi.
Menjelang malam, saya duduk di bawah pohon kelapa di dekat api unggun. Setiap setengah jam, hujan turun, badan mulai menggigil. Beberapa orang sudah mengambil posisi untuk tidur di bivac darurat yang dibuat sore hari. Mata mulai mengantuk, tapi mau tidur ga bisa, akhirnya saya memilih duduk di dekat api unggun, sambil membayangkan kasur empuk kesayangan saya ..hikss sedih sebenarnya.
Sementara wartawati Fajar Makassar, yang kebetulan nama nya sama, Anggi, sudah mengambil posisi tidur di dalam bivac, memaksakan diri untuk tidur. Sesekali saya mendengar suara dengkuran dari dalam bivac, entah siapa. Ternyata jalan kaki yang panjang membuat mereka mengalahkan nyamuk nyamuk mentawai dan tertidur pulas. Sebagian lain duduk di api unggun lain. Ada dua api unggun yang dinyalakan. Hujan tak berhenti turun, baju saya kembali basah, angin bertiup semakin kencang. Saya merapat ke dalam bivac, mengambil posisi di sebelah Anggi Fajar Makassar. Tidur berdekatan, lumayan untuk menghangatkan badan. Mantel hujan saya kenankan. Tidur dengan tetesan hujan di kepala. Oh God!!! Pengalaman yang luar biasa saya rasakan untuk pertama kali dan semoga terakhir ya..
Tidur dengan kaki terlipat. Sesekali meluruskan kaki di atas rerumputan, ada binatang yang merayap di kaki saya, lipat lagi kakinya hehe. Ampuuunn.. nyamuk mentawai luar biasa. Bahkan satu minggu setelah kembali dari Mentawai, kaki saya yang bentol masih terasa gatal luar biasa.
Pukul satu malam saya masih terjaga dengan posisi berbaring. Hujan masih terus turun di sertai angin, malam semakin dingin. Salute untuk salah satu rombongan asal Papua, yang terus menjaga agar api unggun tetap menyala untuk kami. Semakin malam semakin menggigil, tidak hanya gigi saja germertak berbunyi tapi seluruh badan shaking, gemeteran seluruh badan. Untung tidak mengalami hypothermia , penurunan suhu tubuh dari suhu normal. Hypothermia biasa dialami para pendaki gunung dan sudah banyak pendaki gunung yang meninggal akibat ini. Setelah kembali ke Jakarta, saya mencari informasi terkait Hypothermia, ngeri, ternyata dengan kondisi kami bermalam dengan pakaian basah, hujan dan angin, sangat rentan terkena hypothermia. Syukurlah kami semua sehat walafiat dan lagi lagi terimakasih untuk tim SAR asal papua yang menjaga api untuk kami.
Akhirnya malam itu saya lalui antara tidur dan tidak tidur, ditemani hujan dan menggigil.
Alhamdulillah,keesokkan harinya kami semua masih bisa menghirup udara pagi, meskipun kondisi fisik dan mental menurun.
Pagi itu dengan mata sembab kurang tidur, semua semangat. Ada yang semangat berharap boat kami datang, ada yang semangat melanjutkan berjalan kaki kea rah selatan, ke Pororougat. Saya semangat untuk kembali ke Sikakap dengan harapan ada yang mengevakuasi kami segera. Terus terang badan terasa letih dan perut lapar.


Friday, 3 December 2010

semalam di pagai selatan part 3. biskuit, nasi bungkus dan humut kelapa



…Sementara, kameramen saya Cecep Mahmud, berhasil berenang dengan satu tangan, sambil terus memegangi kamera agar tidak basah. Sungai terlewati, jalan kaki dilanjutkan kembali….
Sebelumnya saat menyebrang salah seorang anggota SAR, dr. Rizal dari PTI nyaris terbawa ombak di muara sungai. Untunglah tim yang lain,(kalau tidak salah, Pak Dedy, security PTI) dengan cekatan berenang dan menarik Dr. Rizal. Dan seluruh tim pun selamat tiba di seberang sungai. Semua peralatan kami basah, untung kamera PD 170 yang di bawa Cecep, masih bisa di operasikan, walaupun sebagian LCD nya sudah menghitam terkena air.


Tapi iPod kesayangan saya rusak, terisi penuh air laut .
Setelah beberapa menit beristirahat di seberang, kami kemudian melanjutkan perjalanan kembali. Cuaca masih tak menentu, panas - terik, kemudian mendadak mendung, badai dan hujan. Sementara kulit mulai perih, terutama kulit muka. Sedangkan kaki sudah mulai lecet, maklum saya hanya menggunakan sandal gunung dan celana pendek.
Hari sudah semakin sore, pukul empat lebih, kami berhenti sejenak, tepat nya di daerah sapiren yang berdekatan dengan daerah montei. Kepala rombongan Pak Erick memutuskan untuk bermalam di lokasi ini. Kenapa di tempat ini di putuskan bermalam? Karena pantai nya cukup landai, cukup memungkinkan bagi long boat untuk merapat. (tapi ternyata tidak..)
Setelah berhenti, saya sempat berbicara dengan kepala rombongan, ada baiknya kita melapor posisi dan minta di evakuasi besok. Karena kondisi logistik yang tidak memungkinkan, dan kita juga tidak memiliki tenda. Namun kepala rombongan mengatakan, tidak perlu, karena kondisi kita masih aman, dan kita tidak kehilangan kontak dengan pihak luar. Memang benar, tapi dengan kondisi fisik sudah lelah, makanan terbatas, dan menjelang gelap, paling tidak saya harus memberitahu kantor, posisi saya sekarang.
Berangkat dari Jakarta, kami di bekali sebuah telepon satelit. Saat itu juga saya ambil telepon satelit dari dalam tas dan mulai menyalakan telepon. Susah memang, tapi tak berapa lama, telepon satelait saya mendapatkan signal.
Yang pertama saya telepon adalah teman saya,temmy Saya sengaja tidak menelepon keluarga, agar mereka tidak panik. kepada temmy, saya beritahu kondisi terakhir kami yang sudah berjalan kaki kurang lebih 5 jam, minim logisitik, serta memberitahu koordinat lokasi terkahir saya.
Setelah itu saya menelepon kantor, produser Angghi Mulya Makmur. Hal yang sama saya sampaikan kepada angghi. Ia langsung mencari posisi saya melalui titik koordinat GPS yang kami berikan.
Koordinat terakhir :
South 02 derajat 59 menit 43,9 detik
East 100 derajat 11 menit 51 detik

Dari titik koordinat inilah kemudian Angghi mencari tahu posisi kami, ternyata berada di tengah pulau pagai selatan bagian barat, dan berhadapan dengan samudera hindia.

Kondisi baterai telepon satelit tinggal dua trip, saya masih berkomunikasi dengan beberapa teman, untuk menjelaskan posisi dan kondisi. Hingga akhirnya baterai telepon habis.
Kembali ke pantai…
bibir pantai tempat kami bermalam cukup porak poranda setelah dihantam tsunami. Sambil melemparkan pandangan kesekeliling, saya mencoba mencari, siapa tahu ada tanda tanda kehidupan penduduk sekitar. Tapi nihil. Di hadapan saya, lautan lepas samudera hindia, sementara itu di belakang saya, hutan. Banyak patahan pohon pohon tumbang, daratan tergerus setinggi setengah meter.

Lagi lagi saya memuji indahnya ombak mentawai dan pemandangan di sekeliling saya, meski sebagian hancur. Tapi moment menikmati indahnya alam mentawai terusik dengan hawa dingin dan angin yang mulai menyapa. Baju basah, celana basah, tanpa jaket, ditambah angin pantai, wuihh lumayan rasanya. Perutpun mulai lapar.
Saya masih terus mengenakan pelampung untuk menahan angin mengenai tubuh, lumayanlah. Rombongan tim sar mulai mencari kayu untuk dibakar, agak sulit memang mencari kayu yang kering, karena hujan baru saja berhenti.
Saat yang lain mencari kayu, saya turun ke bibir pantai, mas putu dari PTI tengah mengumpulkan daun kelapa. ( Oiya obrolan pertama saya denga bli Putu ini terjadi ketika merapat pertama kali di malakopak. Saat turun dari boat, dia melihat cincin yang saya pakai, berlambang Tuhan bagi umat hindu bali, ongkare, pemberian seorang teman).
Saya memperhatikan bli Putu menyusun daun kelapa hingga berbentuk seperti atap rumbia. Dia mengajarkan, menyusun daun kelapa, empat lembar dan diberi jarak satu lembar. Lembaran kedua daun kelapa di selipkan ke lembaran pertama, seperti membuat ketupat. Lima belas menit kemudian, kami pun memiliki atap.
Sedangkan yang lain mencari kayu panjang untuk di jadikan pondasi bagi atap daun kelapa. Ternyata mereka sedang membuat bivac. Tidak terlalu besar memang, tapi cukup untuk 6 sampai 7 orang.
Menjelang malam perut sudah tidak bisa di ajak kompromi. Pengalaman di hari kedua di sikakap, kami ke pagai utara tanpa membawa bekal. Saat berangkat ke pagai selatan ini, kami sempat membeli 2 bungkus biskuit untuk bekal dan 5 botol air mineral.
Jelang gelap, beberapa tim sar mulai mencari batang kelapa yang tumbang di sekitar pantai. Sedangkan yang lain mengumpulkan semua perbekalan yang di bawa, untuk kemudian dimakan bersama sama. Alhasil, 4 bungkus biskuit dan 4 bungkus nasi. Salah seorang dari rombongan tim sar ada yang membawa perbekalan di ransel mereka. Makanan sudah terkumpul untuk 28 orang. Cukup? Yaah, cukuplah untuk ganjel perut hehe..
Tim SAR yang menyisir pantai, akhirnya menemukan batang kelapa yang tumbang. Mereka mulai menebas dan memotong motong batang kelapa tersebut. Saya sempat bingung, ketika mereka mengatakan, bahwa batang kelapa ini untuk tambahan makanan.
Mereka memang SAR yang berpengalaman di bidangnya. Saya baru tahu kalau bagian dalam pucuk batang kelapa yang masih muda,bisa dimakan. Disebut humut kelapa, warna nya putih, mengandung banyak air, persis seperti bengkuang. Saya ikut mencicipi, manis terasa.
Sambil mempersiapkan makan malam, rekan saya Cecep masih sempat mengabadikan gambar menggunakan kamera kami yang nyari rusak. Namun hanya beberapa menit, kamera tersebut mati total. Yah, akhirnya pengambilan gambar selanjutnya saya lakukan dengan menggunakan telepon genggam saya, yang kebetulan masih ada baterainya sedikit.
Suasana masih cukup terang, menjelang magrib, kami berkumpul untuk makan bersama. Empat bungkus biskuit, empat bungkus nasi, di makan 28 orang. Gelombang pertama dapat dua sampai tiga suap, gelombang ke dua juga demikian. Lauknya telur balado dan ikan teri. Telur balado nya sudah mulai asam, dibungkus dari pagi. Tapi semua makanan hari itu terasa nikmat dan sangat enak, ditengah tengah perut yang kelaparan hehe…
Kebersamaan yang kami rasakan disana, sama sama sedikit dan sama sama setengah kenyang hehe.. Pada saat itu, saya menyesali, bahwa pernah menyisakan makanan sebelumnya. Yang sedikit terasa sangat berharga. (lesson no.4 jangan pernah membuang buang makanan atau makan bersisa, karena anda akan membayangkannya di saat kelaparan dan tak cukup makanan :p).
Selesai makan, perut masih lapar, beberapa orang lari ke pantai, mereka mencari apa saja yang masih bisa di makan. Ada yang dapat kepiting, ada yang dapat seekor cumi sebesar ibu jari, ada yang dapat kerang, dan ada yang menemukan kelapa. Kami berkumpul di dekat api unggun. Kelapa di bakar ditengah api unggun. Cumi di tusuk keranting kayu, kemudian di bakar.
Melihat cumi mentah, saya tidak tertarik, meski perut masih lapar. Saat cumi tersebut dibakar, saya masih tidak tertarik, terlihat masih basah, dan perut makin keroncongan hehe.
Saat cumi selesai dibakar, yang punya langsung menawarkan, “ Mau mba?. Enak lho ini, cumi bakar. Sama seperti yang direstoran Sea Food di Jakarta”, katanya sambil tertawa. Pertama saya tidak tertarik, tapi kok dia makan kayaknya enak ya hehehe. Dan…akhirnya saya mencipipi cumi bakar mentawai, wow,,,mengejutkan, enak lho rasanya…hahaha. Apa karena saya laper…? (Anyway..thanks cuminya, ga amis,mungkin resto2 sea food bisa mencontoh cara masak seperti ini, biar ga amis hihi…).