Thursday, 14 March 2013

Surat Komite Etik KPK & Sprindik Anas

"Jangan takut kalau hanya dipanggil KPK. Kenapa harus takut dipanggil KPK. Takut itu kalau dipanggil Tuhan". Ini seloroh Sutan Bathoegana, diruang Make Up TvOne, Rabu 13 Maret 2013. Saat itu saya sedang persiapan untuk Program Meja Bundar, Bang Sutan kebetulan diundang di Kabar Petang. Kalimat ini keluar dari mulutnya begitu melihat saya. Memang, dua pekan lalu tepatnya Rabu 6 Maret 2013, saya memenuhi panggilan Komite Etik KPK terkait bocornya sprindik Anas Urbaningrum. Surat undangan dari KPK itu saya terima sehari sebelumnya. Selasa 5 Maret, seorang wanita dari sekretariat KPK menelpon saya dan menanyakan no.fax kantor, untuk mengirim undangan.

Apahal?. Masih tak jelas, sampai akhirnya saya terima sendiri fax dari KPK itu. Kurang lebih isinya meminta kehadiran saya ke Gedung KPK untuk mengkonfirmasi beberapa hal. Jadilah Rabu siang saya didampingi Wapemred TvOne, mendatangi gedung KPK. Tepat pukul satu, saya masuk keruang kerja salah satu pimpinan. Sudah ada didalamnya kelima anggota Komite Etik KPK serta dua orang notulen. Ada banyak detail yang tidak bisa saya sebutkan. Perbincangan siang itu sangat santai.Jauh dari yang ada dibenak saya, jika seseorang dipanggil oleh KPK. Namun enam jam itu sangat melelahkan. Saya juga harus akui sedikit menegangkan. 

Baik...kita tinggalkan perkara pemeriksaan oleh Komite Etik KPK, yang menjadi penekanan saya disini adalah mengenai substansi. Ada banyak pertanyaan yang datang ke saya, terkait pemeriksaan ini. "Kenapa lo dipanggil?. Lo bocorin sprindik? Ah..ga mungkin Anggi dipanggil, salah kali. Siapa dia?". Beragam reaksi memang. 

Saya hanya ingin menekankan, bahwa tidak ada info apapun, tidak ada bocoran surat atau draft sprindik yang salah peroleh dari internal KPK. Baik itu dari pimpinan ataupun dari pegawai KPK lainnya. Saya datang memenuhi panggilan Komite Etik KPK, menjalankan tugas sebagai warga negara yang baik,mungkin saya ada informasi atau klarifikasi yang bisa membantu penyelesaian masalah bocornya sprindik KPK. Sehingga Komite Etik bisa memperoleh informasi yang cukup untuk menghasilkan suatu putusan atau rekomendasi. Karena adalah nasib seseorang, nama baik seseorang dan kredibilitas seseorang yang dipertaruhkan disini. Sudah sewajarnya Komite Etik berhati hati dalam melakukan tugasnya. 

Saya hanya menyayangkan sejumlah pihak yang langsung menyimpulkan atau men-justifikasi bahwa dengan hadirnya saya memenuhi panggilan Komite Etik KPK, berarti saya terlibat dalam pembocoran sprindik. 

Masih ada banyak cerita yang menanti... :)
Terimakasih.

 

Tuesday, 12 March 2013

Surat Pembaca Untuk Majalah Tempo



Pengalaman buruk yang saya alami dengan Majalah Tempo. Sebelum saya tampilkan surat pembaca versi saya (yang tidak diedit Tempo), saya ingin menjelaskan sedikit kronologis munculnya surat protes saya pada majalah Tempo.
Pada Jumat 1 Maret 2013, saya ditelpon oleh redaktur Tempo, ia mengatakan akan membuat tulisan soal Anas Urbaningrum. Kebetulan saya mewawancarai Anas Urbaningrum, sebelum dan sesudah ia ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Redaktur Tempo ini kemudian menanyakan bagaimana kondisi saat dikediaman AU, saat saya mewawancarai di Duren Sawit.
Redaktur tersebut kemudian mulai bertanya perihal foto / (lukisan) Kiyai Ali Maksum yang dipajang sebagai latar belakang saat saya berdialog dengan Anas. Redaktur Tempo ini kemudian bertanya, apakah disetting demikian? .
Saya menjelaskan, bahwa untuk lokasi, memang kami, pihak TvOne yang memilih, sementara properti lainnya disediakan oleh tuan rumah. Posisi foto yang ada dibelakang Anas memang sudah disediakan begitu adanya. Saat wawancara pertama dengan Anas memang ada permintaan untuk meletakan lukisan sebagai latar, karena wawancara kami lakukan diluar ruangan, didekat Pendopo.
Sementara untuk wawancara saya yang kedua kalinya dengan AU (setelah berhenti menjabat Ketum PD), tidak ada permintaan dari AU memajang lukisan Kyai Ali Maksum. 

Penjelasan saya sampaikan ke Redaktur Tempo, dan berulang kali saya sebutkan ini off the record.  Saat itu saya juga mengatakan, saya harus konfirmasi terlebih dahulu dengan pimpinan saya, apakah diperbolehkan share info seperti ini ke Tempo. Akhirnya saya diijinkan untuk menceritakan keadaan apa adanya seperti yang tertulis diatas.
Redaktur Tempo kemudian bertanya via bbm, "sudah ada kabar"?. Kemudian saya kabari, bahwa cerita ini boleh ditulis, namun saya mengingatkan kembali, bahwa saya tidak berkenan jika nama saya dicantumkan dalam tulisan Tempo.

Namun fakta yang terjadi berbeda :
 Komitmen off the record, tidak ditepati oleh pihak tempo. Tempo dengan jelas menulis   nama saya sebagai lead dari tulisan "Dari Halaman Satu Setengah". Saya langsung menghubungi redaktur yang bersangkutan, menyatakan keberatan.  Redaktur tersebut kemudian mengatakan ini adalah kesalahannya, dia salah dengar. Dia kemudian menyarankan agar saya menulis surat pembaca.

   2. Apa yang dikutip oleh Tempo, tidak sesuai dengan apa yang saya sampaikan.
     " properti itu sudah selalu disiapkan dan wajib ada", kata Dwi Anggia.
       Padahal tak satupun  pernyataan saya yang berbunyi seperti kutipan yang ditulis
      oleh Tempo.

Apa dasar Tempo menulis kalimat kutipan seolah oleh dari pernyataan saya??

Inilah kemudian yang menjadi keberatan saya, sehingga berakhir dengan protes keras yang saya tuangkan dalam surat pembaca. Yang kemudian diberi judul oleh Tempo " Keberatan Dwi Anggia ".  Surat ini kemudian diedit, meski sebelumnya saya sudah meminta agar tidak dilakukan pengeditan. Tempo mengatakan pengeditan surat lazim dilakukan tanpa mengurangi substansi. Saya kemudian meminta agar surat yang diedit, dikirim terlebih dahulu pada saya, sebelum turun cetak. Tapi tidak dilakukan juga oleh pihak Tempo.

Apa boleh buat?
Dibawah ini adalah bunyi surat saya, sebelum diedit oleh Tempo:

Surat pembaca majalah tempo

Melalui surat ini saya ingin melayangkan protes keras dan keberatan atas tulisan redaktur majalah tempo, diedisi Tempo 4-10 Maret 2013, pada tulisan yang berjudul Dari Halaman Satu Setengah.
'N menulis kalimat yang dikutip atas nama saya, Dwi Anggia Presenter TvOne, dalam kepala beritanya,  sebagai  berikut : "properti itu selalu sudah disiapkan dan wajib ada". Properti yang dimaksud adalah sarung yang digunakan Anas Urbaningrum dan lukisan KH Ali Maksum. Tampaknya Tempo hendak menunjukan "siapa Anas & dari mana dia berakar".
Faktanya adalah, saya tidak pernah mengeluarkan pernyataan itu. Sebelumnya, pada Jumat ( 1 Maret 2013), 'N' yang mengaku sebagai redaktur tempo, menghubungi saya melalui telpon, dan meminta saya menceritakan suasana dikediaman Anas Urbaningrum, dengan alasan karena saya dua kali mewawancarai Anas Urbaningrum.
'N' menanyakan perihal lukisan yang dijadikan latarbelakang saat saya mewawancarai Anas. Saya jelaskan lukisan itu hanya dipasang sekali saja dari dua wawancara yang saya lakukan.
Saya menjelaskan TvOne selaku tamu, memilih dan menentukan lokasi saat wawancara, sedangkan properti lainnya disediakan dan ditentukan tuan rumah., termasuk lukisan K.H Ali Maksum serta busana apa yang  digunakan Anas . Memang ada permintaan untuk memasang lukisan sebagai latarbelakang wawancara, tapi itu hanya satu kali pada tanggal 7 Februari 2013, sebelum AU ditetapkan sebagai tersangka. Tidak ada lukisan KH Ali Maksum dalam wawancara saya yang coda dikediaman Anas Urbaningrum.
Sangat jelas, bahwa kutipan yang ditulis 'N' sama sekali berbeda dengan pernyataan yang saya berikan. 'N' menulis kesimpulan dan pendapat pribadinya  dalam tulisan tersebut, dan menggunakan nama saya. Ini yang menjadi keberatan saya!. Jika 'N' ingin beropini, lebih baik tidak usah mewawancarai saya sebelumnya.
Selanjutnya saya menyatakan 'N' telah melanggar komitmen, karena saya sudah meminta agar nama saya tidak dicantumkan dalam tulisan.
Atas dua hal ini, 'N' selaku redaktur Tempo, belakangan sudah mengakui kesalahannya, ketika saya konfirmasi melalui telpon. Dengan alasan, dia salah dengar.
Adalah sangat tidak profesional dan sangat disayangkan ketika salah dengar dijadikan alasan, untuk sebuah majalah seperti Tempo. Apalagi sebelumnya saya berkali kali ingatkan, "ini adalah off the record", saya tidak mau nama saya dicantumkan.

====

Demikian isi surat yang saya layangkan.  Nama redaktur sengaja tidak saya cantumkan. Tempo tidak menuliskan nama redakturnya adalah demi menjaga kredibilitas redaktur ataupun ini sudah menjadi kebijakan redaksi, apapun itu saya hargai.
Tapi yang jelas, melalui surat pembaca ini saya ingin menyampaikan kekecewaan atas kutipan yang disampaikan yang tidak benar dan komitmen yang tidak ditepati.

Sekian terimakasih