Sunday, 23 June 2013

Lagi Lagi Pikiran Kosong

****
Ada lobang hitam itu rasanya didadaku. Mungkin ini kata orang yang namanya dendam. Kadang aku juga merasa iri dengan teman sebangku ku. Cerita tentang makan malam keluarga.  
Tentunya dengan ayah dan ibu. 


Ayah? Benda asing apa itu?


Mungkin aku punya, tapi tidak sama seperti Ayah yang mereka miliki. Seorang ayah dalam bayanganku adalah pahlawan bagi seorang anak laki laki dan cinta pertamanya anak perempuan. Mungkin. Mungkin.
Tapi dua duanya tidak ada dalam benak ini.
Ayah, aku tidak membencimu karena tak ada disaat saat yang seharusnya kau ada.
Aku juga tidak membencimu karena harus menjalani yang aku jalani sekarang, lantaran absen mu dimasa lalu.


Ayah, aku membersihkan pusara mu hari ini dengan bahagia, karena akhirnya menemukanmu.
Kesini ternyata pikiran kosong ini membawa ku.

Aku berjalan lagi menuju mobilku. Panas luar biasa terasa. Pendingin mobil pun tak terasa.
Sambil menarik nafas, kunyalakan mesin mobil. Menunggu, kemana lagi pikiran kosong ini akan membawaku.

****

Pikiran Kosong

***
Hari ini aku terbangun dengan perasaan berkecamuk. Ada anak kecil tidur memelukku semalaman. Ini rasanya mungkin ya seorang ibu, atau bukan seperti ini?.  Tidur yang tak tenang semalaman. Tapi ada rasa dibutuhkan yang menyenangkan. Ada pula rasa melindungi yang aneh. Mungkin demikian yang dirasakan seorang ibu.
Ponakanku, bukan darah daging memang, tapi seolah ya rasanya.
Tak harus menjalani tugas pula mendidik dan membesarkan, hanya menyicipi dikala menyenangkannya seorang anak kecil. Tak mengikuti bagian yang menyebalkannya anak kecil. Mungkinkah seorang ibu merasakan seperti itu. Aku rasa tidak,

Hari semakin siang, aku beranjak dari kasur menuju kamar mandi. Malas terasa harus menuju kantor hari ini.

Tak lama aku sudah berada dibelakang stir mobil, menempuh jalan yang berbeda dari biasanya. Aku terkaget sebuah Metro Mini berhenti mendadak. Bunyi klakson panjang.
"Sial nih metro mini". Tanpa sadar, tangan ku masih di klakson mobil.
Seorang perempuan dipinggir jalan mengangkat alis. Mungkin klakson mobilku berisik.

Kupacu mobil lebih kencang, agar melewati Metro Mini sialan itu. Masih dengan pikiran menerawang, aku berhenti dilampu merah. Kini klakson mobil dibelakang ku yang mengagetkan, akupun buru buru belok kekanan.

Masih kosong pikiranku, jauh entah kemana, Mungkin sedang tak berpikir. Alam bawah sadarku membawa ke sebuah ATM.

" Selamat siang bu".
"Siang".
Ba bu ba bu.. dalam hatiku berkata, muka gw tua banget emangnya?

Lima ratus ribu cukup mungkin ya untuk pegangan hingga besok.

Aku buru buru turun tangga.

"Sudah bu?". Satpam yang sama menegur kembali. Aku balas dengan senyum kecut saja.

"Kaget gw, ibu lagi, setua apa sih muka gw". Sambil ngaca dimobil.

Dengan cepat mobil ku putar, keluar area ATM. Lima menit saja sudah berada dikantor. Turun dari mobil, panasnya luar biasa. Didalam kantor, suhunya dingin luar biasa.

"Hah kantor?....Dem, ngapain gw ke kantor. Ini kan hari minggu.

"Sebegitu kosongnya pikiran gw ya?".

Dengan pikiran kosong aku kembali ke mobil. Tarik nafas panjang, menunggu. Kemana pikiran kosong ini akan membawa ku lagi.


***

Wednesday, 19 June 2013

Aku Menjelang Senja

Aku tertunduk pada malam, berteduh pada hujan.

Menantang matahari, terlelap dalam ramai, senyap membuatku tetap terjaga.


Aku menjelang senja mengukir janji berbingkai lupa.

Lara lirih dan perih jadi perekat.

Diam, aku diam saja.

Seribu kata tertahan diam.


Daun yang jatuh mengering tak sia sia.

Aku yang jatuh hingga mati membuat gaduh, bahkan langit tak hendak mendengarkan.


Aku tertunduk pada malam, berulang kali, berteduh pada hujan.

Menantang matahari, terlelap dalam ramai, kali ini senyap karena aku tak dibumi.


Aku menjelang senja mengukir janji berbingkai lupa.

Lara lirih dan perih terurai.

Diam, aku diam saja.

Tak ada seribu kata, aku telah mati.


Daun yang jatuh mengering memang tak sia sia.

Aku yang jatuh hingga mati membuat gaduh pun tak sia sia, kali ini bukan langit yang mendengar,

Jagad raya, semesta turut berduka, melepas aku tanpa perih lara dan lirih.

Aku yang tak dibumi.


Aku yang telah lama mati.


Mati yang bukan sia sia.