Friday, 1 August 2014

Maria dan sajadahnya


Semua yang berawal, pasti akan berakhir.  Semua yang mencari, pasti akan menemukan. Atau ditemukan. Atau bertemu. Terkadang sepi terasa. Melihat sekeliling yang teramat ramai. Hingar bingar dengan kebahagiaan mereka masing masing. Gadis manis itu hanya bisa mengamati sekelilingnya. Menyaksikan orang orang tertawa.
Sementara jauh di lubuk hatinya, sebuah luka terasa sangat dalam. Luka karena pencarian yang tak berakhir. Luka karena penyeselan membiarkan waktu meninggalkannya tanpa makna. Luka karena menghianati hati dan menyia nyiakan hatinya. Luka yang sudah sangat jelas tidak bisa diperbaiki. Karena luka terkait waktu.
Tapi jauh di sudut hati terdalam, meski sangat kecil, ia memaksakan lilin pengharapan terus menyala. Meski dengan sumbu yang semakin pendek dengan api yang membakar luar biasa.
Ia sekali lagi hanya bisa tertegun, memutar kembali isi kepalanya, isi hatinya, dan segala kenangan yang muncul silih berganti. Pelan pelan terucap kata yang ia sendiri sadar, tak perlu diucapkan.
"seandainya… andai saja.. jikalau… ahh mengapa…"
Kata kata yang ia sendiri sadar, tidak akan berguna banyak untuk merubah segalanya.
Pelan pelan ia mencoba membawa dirinya ke jalan yang kebanyakan orang menyebutnya ,"jalan lurus, jalan yang benar".



***
Suatu malam dari malam malam yang sama. Maria namanya. Masih dengan luka yang sama. Dengan penyesalan yang sama. Kali ini ia mencoba menghadap Tuhannya. Perlahan ia basuh kedua tangannya, hingga berakhir dengan kedua kaki. Sajadah yang lama terlipat, akhirnya disentuh kembali. Ada rasa rindu, ada rasa takut dan ada rasa bersalah. Rindu karena lama tak mengadu pada Tuhan. Takut, apakah masih akan didengarkan keluhnya. Salah, atas apa yang telah dilakukan sepanjang hidupnya.

***
Arghh…. Kesal, bosan dengan apa yang dihadapinya terus menerus. Dengan orang orang yang merongrongnya setiap saat. Yang ia inginkan hanya sendiri. Terkadang sendiri. Terkadang. Maria memang menyadari keegoisannya. Ini jugalah buah yang sedang ia rasakan saat ini. Kerusakan akibat perbuatannya sendiri. Kini ia harus memperbaikinya satu per satu. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Bagaimana memperbaiki hati orang yang terluka. Karena kata?

***
Telfon genggamnya kembali berbunyi. Tak kurang dari satu jam, tiga kali telponnya berbunyi. Dengan berat hati ia mengangkat. Ia memang terlihat jenuh, ingin menyendiri. Tapi kali ini ia menyadari, tak ingin melukai banyak orang lagi.
***
"………Arggggghhhhhh……!!!!".


***
Kembali lari pada sajadah usang. Maria bersujud, menenangkan hati. Berharap didengarkan Tuhannya. Mengadu mencari jawab. Sejenak dia tersentak. Seolah ada yang mendengarkan suara hatinya. Tapi ia sendiri bingung, apakah nyata yang didengarnya.

***
Hening. Maria bahkan bisa mendengar detak jantung dan darah yang mengalir saat ia sujud. 



by: dwi anggia

No comments: