Thursday 24 October 2013

Cinta seharusnya tanpa mata? hanya rasa

Sayang. Tidak mudah untuk berpaling dari mu. I feel your pain I feel the same. Disepertiga malam ini aku merindukanmu. Maaf aku harus memilih cara seperti ini. Karena belajar untuk berhenti mencintaimu tidaklah mudah. Jika diperbolehkan untuk menghabiskan sisa hidupku bersama mu, maka itu tidaklah menjadi pilihan, tapi itulah satu satunya keputusan, bukan pilihan. Karena aku tidak akan menempatkan keputusan untuk hidup bersama mu menjadi pilihan. Itu adalah keputusan, bukan pilihan.
Memalingkan mata ku pada yang lain mungkin terlihat mudah bagimu. Tapi memaksa memalingkan hatiku darimu bagai menyayat luka dileher ku sendiri.
Bagai mencabut nyawaku perlahan. Sayang, jika aku memiliki kesempatan terlahir kembali, aku akan memilih untuk terlahir menjadi dia yang kelak bisa menyandingmu.
Menyandingmu tanpa harus menerima penolakan dari semua yang bernyawa.
Menyandingmu.
Sayang.. Sayang..
Dan sayang aku tidak bisa terlahir kembali.
 Sayang aku mati melihatmu terluka, disaat kau membayangkan bahwa aku tengah berbahagia dengan yang lain.
Pernahkah kalian tahu apa rasanya jika harus membunuh cinta pada yang tercinta? Padanya yang telah kau serahkan seluruh bahagia dan air mata?
Kita tehalang aturan hidup norma dan dosa.
Padahal cinta tak seharusnya berbatas dosa dan pahala, patut atau tidak serta elok atau tak elok.

Cinta harusnya tanpa mata, tanpa bentuk, tapi hidung, hanya rasa.
Seandainya cinta hanya sebatas rasa, maka malam ini dan setiap pagi kelak, wajahmulah hal pertama yang kulihat saat membuka mata.