Saturday 8 February 2014

Prolog



Meledak... Rasanya meledak. Ingin meledak. Itu yang kurasakan. Melihat air mata berderai dari mata indah itu. Mata yang sering kuciumi kala lelah terlelap disamping nya.
Malam ini serasa seluruh beban bumi ada di dadaku. Aku melangkah ke rumah dengan berat hati. Sambil melihatnya menghilang dibalik dinding itu.



Merry kecilpun gelisah, menatap penuh gundah. Seolah ingin bicara, aku merasakan apa yang kau rasakan Tuan. Ya, mungkin dia tahu, betapa lelahnya perasaaan dan otak ku hari ini.  Begitu menguras emosi dan pikiran.
Merry ku peluk, dia menjilati daguku, tiga kali saja. Entah apa makna nya. Tatapan sedihnya seolah tak mau melepasku. 
Aku lepas ia sejenak dari tempat tidur mungilnya. Berlari kesana kemari. Sesaat hati ini tersenyum, bahagia memang sederhana. Setelah air mata terkuras, aku bahagia melihat Merry berlari lincah kesana kemari. 
Tapi ternyata itu tak cukup. Pikiranku masih berkecamuk. Dada terasa begitu sesak. Sejenak aku buka kembali telepon genggam yang sedari tadi berada di tas hitam kesayanganku. Ku buka namanya, senyum di Profile Picture- nya sejenak menghipnotisku. Tanpa sadar aku kembali menangis, dan mendengar suaraku sendiri. " Maafkan aku ya, sudah membuat seluruh luka ini".
 Aku tahu ini tak mudah, tapi ini yang ada dihadapan kita. " Ah.. Hidup memang tak selamanya indah. Tapi orang bijak bilang disetiap ketidakindahan hidup, ada bahagia menanti untuk dijelang". Tanpa sadar, aku mendengar diriku bergumam. Sambil membuang nafas panjang dan berjalan ke kamar mungilku, aku kembali berkata, "Bijaksini sekali sih". 
Tak lama, aku sudah berada dikasur empuk sedunia, kasur yang membuat tulang belakangku tidak sakit. Kasur yang tak pernah ku bagi dengan orang lain. Kasur yang.... " grookk...fiuhh...zzz...". 
Aku hilang dalam lelap.

***
"Apa.....??. Telat lagi.. Kenapa alarm ini tidak berbunyi?". Langkah seribu, aku menyerbu kamar mandi. Hari ini adalah audisi ke sepuluh yang aku ikuti.
"Damn. Senar lima yang putus seminggu lalu, belum sempat diganti". Aku pun buru-buru menuju kamar mandi.
Ini mungkin mandi tercepat yang pernah kulakukan. Hmm.. boleh dibilang mandi ga ya? Kalu hanya sikat gigi, dan sikat ketek saja.. Hahaha.... Jorki, kalau si emak bilang.
Lupakan soal mandi, sekarang bagaimana caranya, selesai dengan kostum dan pasang senar gitar yang putus. 
Oke, kita mulai dari wajah. Yang aku pelajari di kantor adalah, make up koreksi dari para make up artis. Make up dasar dengan warna sedikit gelap. Serta riasan dimata yang harus sempurna. " Karena mereka tak akan pernah melihat wajahku. Hanya mata ku saja. Mata terindah sedunia, katanya".

"Done". Aku selesai dengan riasan mata. Dan jangan lupa bawa topeng, V for Vendeta. Salah satu topeng kesukaanku. Perlahan aku kenakan topeng tersebut, agar tidak merusak riasan mata. Karena V for Vendeta nya ku lubangi dibagian mata. Mata adalah jualanku, selain suara dan kemahiran memetik gitar. Hehehee... orang bijak bilang, kenali potensi dirimu. Baik, sekarang saatnya meluncur ke lokasi audisi. Sambil menyambar susu cokelat dimeja, aku menuju mobil hitam kesayanganku. 

***
" Calvary..Calvary... Silahkan ke ruang audisi". Setelah lima kali nama itu dipanggil, aku baru sadar. Itu adalah namaku, nama samaran tepatnya. "Duh.. bego banget gue", nama sendiri jadi lupa. Maklum, ini nama samaran. Nama beken yang kusiapkan, sebagai penyanyi solo bergitar maut. Hehehe...
"Kenapa, gue harus pilih elo?", pertanyaan salah seorang panelis, yang mengagetkan ku.
"Yaelah, ini orang sadis amat untuk ukuran audisi musik, sudah seperti pemilihan anggota dewan", gumamku dalam hati.
"Karena saya, adalah apa yang ingin dilihat orang banyak, dan sayalah yang akan menjadi legenda musik negeri ini, nanti". Sejenak aku terdiam, sambil memikiran kebodohan dan berpikir bagaimana mempertanggung jawabkan pernyataanku sebelumnya.

Langsung saja, gitar hitam ini kupetik. Ini adalah audisi terlama yang pernah ku jalani. Ketiga panelis diam, tanpa sepatah kata. Tatapan mereka seolah menunjukkan bahwa mereka adalah orang tolol yang tengah tak berpikir.
"Cukup, Calvary, cukup. Audisi selesai hari ini". Salah seorang panelis berteriak pada staff admin dibalik kaca transparan itu.

" Selamat datang, di Calvary". Rey, panelis paling senior dan tertampan menurutku, berkata sambil menghampiriku. Dengan mulut setengah ternganga, dan ngeces, aku menjabat erat tangan Rey. Tapi untungnya mereka tidak bisa melihat semua itu, thanks to my mask. 
Selesai menjabatku, tangan Rey berusaha meraih topengku. Spontan aku mengelak, dan mundur.
"Kalau kamu ingin aku bergabung di Calvary, satu syarat boleh ya", ujarku. 
"Apa?", tanya Sten, seorang panelis lainnya.
" Topeng ini tak akan pernah lepas, dengan alasan apapun", dengan menyakinkan aku berkata.
Tiga panelis saling pandang, dan diam seribu bahasa, sejuta gerak.


***

1 comment:

Anonymous said...

Kalau jatuh jangan sekali. Tapi berkali-kali. Biar yakin gitu. *ihik*