Monday 15 December 2014

Dear Rin, Good Bye....

Berkecamuk, itu yang ia rasakan. Entah mengapa rasa sakit terus bergelayut dihatinya. Setiap kali pemandangan yang ia saksikan malam itu muncul dipikirannya, seketika itu juga nyeri luar biasa ia rasakan didadanya.
Berkali kali Rin menjelaskan bahwa Tom hanyalah sebuah proses yang harus ia lalui demi memenuhi standard hidup layaknya manusia kebanyakan. Berkali pula Rin menjelaskan bahwa ia menempati tempat tertinggi dihatinya. Mungkin bukan tempat tertinggi tapi tempat spesial dihatinya. Tapi sejuta penjelasan dari Rin, sejuta pula pertanyaan sama muncul dari benaknya.

Ia selama ini tidak pernah membayangkan bahwa Tom akan benar benar hadir tepat didepan hidungnya. Karena selama ini Tom memang tak pernah ada disisi Rin.
Namun kali ini, ketika semua benar benar terjadi, ketika Tom benar benar memenuhi janji akan pindah kerja ke kota yang sama dengan tempat tinggal Rin, barulah ia menyadari bahwa ia dan cintanya salah.
Rin bukan lagi seperti yang ia kenal. Dari cara Rin menatapnya, ia sadar, bahwa sesungguhnya perlahan Rin menerima dan mendambakan kehadiran Tom.
***
Ia berdiri lama didepan cermin. Menatap dirinya, lama. Sambil sesekali berkelebat tentang indahnya saat ia dan Rin masih bersama. Ia kini hanya bisa menarik nafas panjang, menahan sesak didada, merelakan Rin perlahan. Karena ia memang tak memiliki keberanian itu, memilihi Rin sebagai pendamping hidupnya. Kini ia harus berdiri gagah dan tegap, sembari memunguti serpihan hatinya yang telah hancur. Karena menurutnya penjelasan Rin tentang arti dirinya dalam hidup Rin sudah tak masuk akal, dan mengada ada, terlebih setelah apa yang ia saksikan malam itu. Rin dan Tom bercumbu mesra dihadapannya.
***
Pukul dua dini hari, matanya tak kunjung terpejam. Ia tenggelam dalam pikiran buruknya sendiri. Ia berada dalam titik terendah dalam hidupnya. Sebenarnya bukan itu yang mengganggu pikirannya. Perlahan ia bangkit dari tempat tidurnya, menuju meja kerjanya. Kemudian mengambil secarik kertas dari dalam laci kerja dan menyalakan lampu dipojok kanan mejanya.

Dear Rin,
Cintaku kau sudah barang tentu tahu.
Cintaku tak berbatas ruang dan waktu untukmu.
Akhirnya kini aku menyadari, bahwa aku hanyalah batu loncatan bagimu untuk mencapai bahagia yang sesungguhnya.
Aku hanya sepotong cerita yang akan melengkapi hidupmu dan mungkin nanti tak akan kau buka lagi.
Aku hanya titian jalan yang kau lewati untuk mencapai bahagia.
Pilihlah siapa saja sesuka hatimu untuk mendampingimu.
Aku akan berusaha percaya bahwa kau mencintaiku seperti kala dunia hanya kita saja.
Jika kau lihat aku menitikkan air mata, percayalah juga bahwa itu bukanlah duka.
Itu bukanlah perih yang kurasa sama saat pertama kali melihatmu menatapnya dengan cinta.
Itulah air mata bahagia ku untuk mu dan dia.
Rin,
Cinta saja memang tak cukup.
Butuh keberanian untuk mengikat kau dalam hidupku.
Keberanian yang tak mungkin pernah kumiliki seumur hidupku.
Biar cinta kita menjadi cerita bagi bulan dan malam saja.
Dalam merekalah aku sembunyi dari luka yang kau tinggalkan.


Love
***
Perlahan kertas itu diangkatnya. Tanpa sadar kedua tangannya telah meremuk secarik surat ynag baru saja ia tulis. Ia berkata dalam hati, menyampaikan surat ini ketangan Rin saja aku tak bernyali, apalagi mengikat hati Rin dengan hatiku.
Ia pun mengambil kembali secarik kertas baru. Perlahan tapi pasti, ia kembali menoreh kertas putih itu. Dua kata tertulis. Ia terdiam lama. Dua jam dengan pikiran berkecamuk, barulah ia menulis dua kata berikutnya. Ia melipat kertas tersebut dengan rapih dan menyelipkannya kedalam tas kerjanya.
Sesaat kemudian ia sudah berada dikasur. Dan mulai memejamkan mata yang penuh air mata.


Dear Rin,

Good bye...



 

No comments: